Mengenai bukti regenerasi petani Indonesia –
mengkhawatirkan, saya ulas hanya dari pengalaman sederhana narasumber pada
pelatihan pertanian yang saya ikuti waktu lalu dari dinas pertanian setempat. Bukti
sederhana namun konkret bahwa pemuda Indonesia saat ini sangat jarang yang
bercita-cita menjadi seorang petani. Beliau bernama Bapak Cecep kelahiran
Garut, Jawa Barat. Beliau pernah melanglang buana sebagai aktivis LSM dan
semacamnya hingga akhirnya beliau menjadi petani tulen (menemukan jati diri)
dan karena kegigihan, keuletan, serta ilmu pertanian yang akhirnya menumpuk dikepala
beliau, beliau tidak jarang selalu dipanggil untuk menjadi narasumber pertanian
oleh berbagai pihak diberbagai penjuru negeri kita tercinta ini, Indonesia.
Petani Indonesia |
Sewaktu beliau bertemu saya dan
teman-teman saya yang sedang mengikuti pelatihan, beliau terkejut sekaligus
bangga melihat kami. Ya, kami merupakan kelompok petani muda (dibawah usia 30
tahun) yang berjumlah kurang dari 15 orang perwakilan kelurahan di kabupaten
saya dari total 60 orang lainnya (dari kabupaten lain), walaupun memang kami
masih merupakan petani amatir/masih harus belajar banyak. Beliau duduk diantara
kami disela-sela coffee break lantas
mengatakan: “saya bangga melihat kalian yang masih muda-muda namun ingin
menjadi petani! Sungguh kalian adalah pejuang pangan Indonesia yang
sesungguhnya. Saya sudah melatih para petani dibanyak daerah di Indonesia,
semuanya adalah orang tua, baru kali ini saya melihat para petani muda disini”,
kira-kira seperti itulah perkataannya. Kami pun menjadi lebih termotivasi untuk
serius menekuni pertanian. Itulah salah satu bukti sederhana bahwa memang
petani muda sangat jarang sekali.
Bukti lainnya saya dapatkan masih
dari Bapak Cecep yakni ketika beliau menjadi narasumber mahasiswa IPB (Institut
Pertanian Bogor) yang jumlahnya kalau saya tidak salah sekitar 60 orang lebih –
sedang melakukan studi tur pertanian ke daerah Garut. Katanya, beliau pernah
bertanya kepada mereka: “siapa diantara kalian yang orang tuanya petani?”
Hampir semua mahasiswa tersebut mengangkat tangannya. Lalu, beliau bertanya
kembali: “siapa diantara kalian yang bercita-cita menjadi seorang petani?”,
kebanyakan dari mereka menurunkan tangannya dari atas dan hanya sekitar 5 orang
yang masih mengangkat tangannya menandakan mereka bercita-cita menjadi seorang
petani.
Pak Cecep pun heran katanya,
mereka yang kuliahnya di kampus pertanian saja, masih sedikit mahasiswa yang
bercita-cita sebagai petani. Beliau pun bertanya kepada para mahasiswa yang
menurunkan tangannya tersebut. “Kenapa tidak mau menjadi petani?” Ada yang
menjawab “bau letak” (bahasa sunda yang artinya jadi petani itu bau lumpur)/kotor,
tidak boleh sama orang tuanya, dan lainnya. Itu merupakan bukti sederhana kedua
bahwa petani muda di Indonesia sangat jarang atau dengan kata lain, regenerasi
petani di Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan.
Sungguh menakutkan apabila tidak
ada regenerasi petani di Indonesia, nanti kita pada mau makan apa? Biarkanlah Negara
lain berkutat dengan industrinya, toh uang mereka pun ujung-ujungnya dipakai
buat makan (kebutuhan utama manusia). Mereka manusia yang tidak bisa makan hasil
industri mereka, masa mereka mau makan besi, hardware, software, tidak kan?
Tentunya mereka juga makannya sayuran atau daging. Kita yang dulunya dikenal
sebagai Negara Agraris, seharusnya kita terus mempertahankannya, karena dikala Negara
lain sudah beralih sepenuhnya terhadap sektor industri, maka kita bisa menjadi
penyuplai terbesar makanan mereka. Apakah kita harus minta Belanda untuk
menjajah kita lagi? Karena pada waktu itu, sebagian besar kebutuhan pangan Eropa
dihasilkan oleh Belanda yakni dengan menjajah Indonesia sebagai Negara Agraris.
Pastinya tidak mau kan? Jadi … Ayo bangkitlah Petani Muda Indonesia! Tapi
jangan pakai pestisida kimia untuk membunuh hamanya ya, banyak negatifnya.
Negatifnya apa? Nanti saya bahas pada postingan selanjutnya.
Foto kredit: Old Farmer
No comments:
Post a Comment