Baca part 4-nya disini.
Kami pun disambut oleh ibu (lupa
namanya) pemilik rumah makan Nasi Padang yang ruangannya tidak terlalu besar
itu, langsung kami memesan makanan khas Nasi Padang, ada yang pesan paru,
rendang, dan ayam pop. Mungkin karena kami berenam membawa tas yang lumayan
besar, si Ibu pun bertanya kepada kami: “habis dari mana?” Kami pun tidak
sungkan untuk menjelaskan bahwa kami habis dari Gunung Bromo. Karena sepertinya
si ibu senang ngobrol, akhirnya kami pun curhat atas apa yang telah dialami
selama perjalanan ke Gunung Bromo dari mulai sengsaranya naik kereta api
ekonomi dari Bandung – Surabaya, ditipu guide di Gunung Bromo, harga makanan
yang mahal, dan terakhir mengenai keterlambatan kami ke Stasiun Kereta Api
gara-gara supir angkot.
Setelah selesai menceritakan
keluh kesah kami, kami pun tanya balik tentang si ibu tersebut. Selidik demi
selidik, ternyata si ibu pernah tinggal di Kota Cimahi yakni tetangganya Kota
Bandung. Suami si ibu ternyata punya angkutan kota disana yakni jurusan Cimahi –
Padalarang yang berwarna oranye. Si ibu pun pernah beberapa tahun tinggal di
Cimahi, kebetulan saya tahu angkot tersebut karena sewaktu SMA saya sekolah di
Cimahi sehingga pembicaraan semakin enak saja.
Karena mungkin ada hubungan
kedaerahan (sama-sama pernah tinggal di Cimahi) atau karena si ibu memang baik
hatinya, mendengar kami yang akan menginap di emperan stasiun kereta api, si
ibu langsung bilang bahwa kita tidak boleh menginap disana dikarenakan banyak
preman kalau malam-malam. Selain itu, dulu pernah ada yang dirampok juga kalau
malam-malam menginap disana (bisa benar-benar tidak jadi pulang kalau kami
dirampok). Si ibu pun dengan tulusnya menawarkan kami untuk menginap di Rumah
Makan Nasi Padangnya yang sederhana itu (di dunia ini memang masih banyak orang
baik). Kami pun tidak menolaknya, kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas pertolongan yang diberikan-Nya melalui si ibu tersebut. Lega rasanya hati
kami waktu itu.
Si ibu yang ditemani anaknya yang
paling kecil nomor dua yang juga saya lupa namanya (kalau tidak salah anaknya sudah
SMP waktu itu) memberi tahu bahwa Stasiun Pasar Turi besok bukanya pagi-pagi
pukul 06.30 dan memberi saran bahwa kami harus langsung antri karena biasanya
banyak yang akan pergi menggunakan kereta api ekonomi.
Karena perasaan kami sudah
tenang, akhirnya kami pun memutuskan untuk berjalan menikmati Kota Surabaya
dimalam hari. Sekitar pukul 20.00, kami berjalan diantar oleh anak si ibu
tersebut sebagai guide kami. Berbeda dengan Bandung dan Jakarta, Surabaya
menurut saya tata letak kotanya sangat rapi dan juga bersih, tidak heran kalau
kota terbesar kedua di Indonesia itu sering mendapatkan berbagai macam
pengghargaan. Melihat tugu/monumen khas Surabaya yakni ukiran patung hiu dan
surabaya, kami pun langsung berfoto didepannya. Selain itu, kami datang ke
taman kota yang benar-benar sungguh rapi dan memiliki berbagai macam arena permainan
seperti tempat untuk bermain skateboard.
Mengingat kebaikan yang diberikan
si ibu kepada kami, dengan keterbatasan uang kami, kami membeli martabak untuk
si ibu dan anaknya waktu itu sebagai rasa terima kasih kami. Sayang, karena waktu itu badan saya agak kurang
enak, saya dan satu orang teman saya serta si anak ibu akhirnya pulang ke rumah
makan sekitar pukul 22.00, sedangkan yang lainnya katanya pulang sekitar pukul
24.00 waktu itu.
Ketika pulang ke rumah makan, si
ibu sudah tidak ada alias pulang ke rumahnya. Si ibu digantikan oleh anaknya
yang paling besar untuk menunggui rumah makan karena ternyata Rumah Makan
Padangnya buka 24 jam. Saya dan kedua teman saya (yang satunya menyusul sekitar
pukul 24) tidur di atas bangunan yang memiliki saung sederhana berukuran
kira-kira 2x2m, sedangkan yang lainnya tidur di atas meja makan dengan posisi
duduk, kepala, dan tangan menunduk di atas meja (kasihan sekali ya, haha). Namun,
kami tidak bisa tidur dengan pulas waktu itu dikarenakan banyaknya nyamuk yang
menemani kami waktu itu.
Akhirnya kami bangun sekitar
pukul 05.00 untuk bersiap-siap pulang. Si ibu belum ada, namun sebelum pulang
kami makan lagi untuk sarapan, oh iya harga makanannya murah, benar-benar harga
standard. Setelah selesai, kami pun pamitan dengan anaknya si ibu, sayang si
ibu belum ada waktu itu, kami benar-benar berterima kasih kepada si ibu pemilik
Rumah Makan Nasi Padang tersebut, kami pun mendoakan beliau agar selalu
diberkahi oleh Yang Maha Kuasa.
Setelah itu, kami pun mengantri
untuk membeli tiket kereta api ekonomi jurusan Bandung seharga Rp 40.000/orang
di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Sekitar pukul 07.00 kereta pun akhirnya tiba,
kami pun bersiap-siap naik. Karena kereta ekonomi rawan dengan copet, sebelum
masuk saya menggendong tas saya di depan badan (bukan di punggung) dan dompet
dimasukan di saku celana depan. Ketika masuk pun, saya memegang saku depan saya
yang berisikan handphone dan dompet. Penumpang yang masuk dan keluar tidak
beraturan alias bentrok saling bertabrakan, tidak ada yang mau menunggu penumpang yang turun dulu
karena mungkin takut tidak kebagian tempat duduk (berbeda dengan tipe bisnis
dan eksekutif yang pasti kebagian tempat duduk, kereta ekonomi walaupun sudah
dapat tiket, bisa saja tidak kebagian tempat duduk). Kami pun mengikuti mereka
langsung masuk, dan benar saja kereta ekonomi rawan copet. Ketika saya masuk
dan bentrok atau bertabrakan dengan para penumpang yang mau keluar, saya
merasakan ada yang meraba-raba saku celana belakang saya, untung waktu itu saya
taruh di saku depan dompetnya.
Namun teman saya Andre waktu itu
tidak melakukan hal yang sama dengan saya, dan dompet dia pun raib oleh copet. Kami
pun tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak tahu siapa orangnya. Untungnya uang
kami waktu itu masih cukup untuk biaya makan di kereta termasuk untuk Andre. Akhirnya
kami pun pulang dan menikmati lagi perjalanan menggunakan kereta api ekonomi
seperti halnya keberangkatan yang memerlukan waktu kurang lebih 20 jam. Kami tiba
di Bandung tepatnya di Stasiun Kiaracondong subuh, Alhamdulillah kami dapat
pulang dengan selamat walaupun satu dari teman kami mengalami musibah
kecopetan.
Perjalanan kami waktu itu
menghabiskan waktu selama 3 hari 3 malam padahal seharusnya bisa 3 hari 2 malam
apabila tidak terlambat ke stasiun kereta waktu itu. Oh iya uang yang saya bawa
waktu itu Rp 300.000. Menjadi backpacker itu menurut saya sangat menyenangkan,
walaupun banyak kejadian yang tidak diharapkan atau diluar rencana, namun
justru hal tersebut menjadi seni dari indahnya menjadi backpacker. Saya pun
bercita-cita ingin melakukan hal tersebut lagi ke seluruh Indonesia bahkan ke
luar negeri jika sudah ada rejekinya, Amin.....
Selesai.
Yah ampun kak seru banget ,, aku baruu mau berangkat nih tanggal 22 abis lebaran ini .. Lebih sering baca blog ke sana :')
ReplyDeletesy jg udh kangen pengen backpackeran lg.
Deletenanti abis dari sana ditulis ya pengalamanny..